×

IDXCarbon dan Peluang bagi Industri Perkebunan Indonesia

IDXCarbon dan Peluang bagi Industri Perkebunan Indonesia

Pada bulan September 2023, Indonesia meluncurkan bursa perdagangan karbon bernama IDXCarbon. Inisiatif ini menandai tonggak sejarah penting bagi Indonesia dengan membuka kesempatan bagi para pelaku ekonomi untuk memperdagangkan unit karbon dengan transparansi dan efisiensi yang lebih baik melalui mekanisme dan penetapan harga yang transparan.

Meskipun bukan bursa karbon pertama di Asia Tenggara, IDXCarbon memiliki potensi untuk menjadi salah satu pasar karbon terbesar dan terpenting di kawasan dan di dunia. Potensi ini didukung oleh berbagai perusahaan nasional terkemuka yang berpartisipasi langsung, seperti Pertamina, BCA, Bank Mandiri, dan MMS Group Indonesia. Sejak pembukaan hingga 22 Desember 2023, volume penjualan unit karbon mencapai 1.757.949 ton, melebihi total volume penjualan bursa karbon Malaysia dan Jepang.

Lalu, sebenarnya apa itu perdagangan karbon, dan bagaimana dampaknya terhadap mitigasi perubahan iklim di Indonesia dan global?

Perang melawan pemanasan global

Menurut NASA, suhu rata-rata global telah meningkat sekitar 1,1°C sejak Revolusi Industri di tahun 1880, dengan kenaikan rata-rata sebesar 0,15 hingga 0,20°C per dekade. Fenomena buatan manusia ini sebagian besar disebabkan oleh ekspansi aktivitas industri, penggundulan hutan, dan penggunaan sumber energi kotor dengan agresif selama dua abad terakhir. Aktivitas ini menghasilkan emisi yang kemudian terperangkap di atmosfer, menyebabkan efek rumah kaca dan kemudian menghangatkan bumi. 

Abad ke-20 telah menjadi titik balik dalam mengatasi masalah ini. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, beberapa penjanjian internasional telah dibuat, seperti Protokol Kyoto yang bertujuan untuk mengurangi emisi sebesar 5% pada tahun 1990 dan Perjanjian Paris yang membatasi kenaikan suhu global rata-rata sekitar 2°C untuk mencapai emisi nol atau ketika emisi yang dihasilkan sama dengan yang diserap oleh atmosfer. 

Perjanjian Paris memperkenalkan National Determined Contribution (NDC) yang mewajibkan setiap negara yang berpartisipasi menyerahkan rencana aksi iklim mereka sejak tahun 2020. Setiap NDC yang diserahkan mencerminkan seberapa agresif rencana mereka untuk mencapai tujuan utama serta tindakan untuk mencapainya. Selain NDC, perjanjian ini juga menyediakan dukungan keuangan, teknis, dan pengembangan kapasitas bagi negara-negara yang membutuhkan. Perjanjian Paris juga memperkenalkan sistem perdagangan karbon yang dikenal sebagai Sustainable Development Mechanism atau SDM. 

Perdagangan karbon memiliki dua metode: cap-and-trade dan offset. Metode cap-and-trade digunakan oleh perusahaan yang ingin membeli dan menjual kredit karbon, yang merupakan hak untuk menghasilkan emisi tertentu dalam kegiatan produksi. Melalui metode ini, perusahaan memiliki kuota emisi yang memungkinkan mereka untuk menghasilkan emisi dalam jumlah tertentu. Jika melebihi kuota, perusahaan diwajibkan untuk membeli kredit karbon dari perusahaan yang masih memiliki kuota. Hal ini menciptakan insentif bagi perusahaan yang dapat mengurangi emisinya, yang mana mereka dapat menjual kreditnya kepada perusahaan lain yang membutuhkan.

Metode kedua adalah metode offset, yang mana negara-negara dengan emisi yang tinggi mendanai proyek-proyek hijau di negara lain, terutama negara berkembang, untuk mencapai target emisi mereka. Sistem ini bertujuan untuk menyeimbangkan total emisi yang dihasilkan. Melalui kedua metode, sektor publik dan swasta dapat berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Di Indonesia, upaya  menanggulangi perubahan iklim dilakukan melalui Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 (Perpres No. 98/2021) tentang Penerapan Harga Karbon untuk Mencapai Target Kontribusi yang Diniatkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional, yang mana Perpres ini mendefinisikan dan mengatur aksi mitigasi untuk mencapai target NDC, termasuk perdagangan karbon. Pada Perpres No. 98/2021, ada dua metode yang diatur, yaitu metode cap-and-trade (Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) dan metode offset (Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) melalui transaksi langsung dan pertukaran karbon.

Solusi baru

Perdagangan karbon menawarkan pendekatan yang berbeda dalam upaya mengatasi perubahan iklim dan dapat memecahkan dilema klasik, yaitu memprioritaskan antara konservasi atau pembangunan. Ketika sebuah negara memilih pembangunan, hal tersebut akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal, memberikan pemasukan dalam bentuk pajak bagi pemerintah dan pembangunan infrastruktur. Namun, aktivitas yang sama juga mengakibatkan deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, emisi karbon yang tinggi, serta mengancam ekosistem lokal dan masyarakat adat. Perdagangan karbon dan pendirian IDXCarbon memberikan solusi baru terhadap dilema ini, di mana para pelaku ekonomi dapat memilih untuk melakukan konservasi sambil dan menciptakan keuntungan di saat yang sama. Menurut Kemenko Perekonomian, potensi perdagangan karbon di Indonesia mencapai 565,9 miliar USD.

Untuk mencapai target NDC Indonesia, Pemerintah telah memperkenalkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) atau batas emisi untuk 99 pembangkit listrik berbasis batubara dengan total kapasitas 33.569 MW pada tahun 2023. Pada tahap pertama, hanya diberlakukan untuk pembangkit listrik berbasis batubara dengan kapasitas 100 MW atau lebih dan terhubung dengan jaringan listrik nasional. Untuk tahap selanjutnya, peraturan juga akan diberlakukan untuk pembangkit listrik berbasis fosil lainnya yang tidak terhubung dengan jaringan listrik nasional. Selain PTBAE-PU, pemerintah juga akan memberlakukan pajak karbon sebesar Rp30/ton karbon yang akan mulai diberlakukan pada tahun 2025. Kondisi ini akan mendorong permintaan kredit karbon di dalam negeri di masa mendatang.

Perusahaan perkebunan di Indonesia memiliki kesempatan untuk menangkap peluang baru ini. Selama 20 tahun terakhir, Indonesia telah berpartisipasi dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau REDD+. REDD+ berfokus pada pengurangan emisi dengan mencegah deforestasi, merestorasi hutan dan lahan gambut, meningkatkan dan mempertahankan penyimpanan karbon, serta menambah manfaat bagi masyarakat adat termasuk perlindungan keanekaragaman hayati. Program ini hanya ditujukan untuk hutan tropis, hutan bakau, dan lahan gambut, karena total area dari hutan tersebut mencapai 130 juta hektar dan menyumbangkan potensi untuk menyerap sekitar 110 miliar ton karbon.

Perkebunan kelapa sawit dan karet di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam menyerap karbon. Terlepas dari kontroversi perkebunan seperti tuduhan deforestasi, pelepasan karbon dan perubahan keanekaragaman hayati, perkebunan yang telah ditanam telah memainkan perannya sebagai penyerap CO2 di alam. Menurut Borbon et al (2020), kelapa sawit memiliki kemampuan mitigasi gas rumah kaca yang penting, di mana rata-rata cadangan karbon di perkebunan kelapa sawit adalah 40,33 ton karbon per hektar. Meskipun jumlahnya lebih rendah dari hutan, yang berkisar antara 69,57 hingga 160,82 ton (Coracero, Malabrigo, Jr; 2020), angka ini masih lebih tinggi dari padang rumput dan lahan pertanian yang masing-masing hanya menyimpan 8 ton karbon per hektar dan 5 ton karbon per hektar. Angka yang sama juga dihasilkan oleh pohon karet, di mana penyerapan CO2 tahunan dari tahun 2013 hingga 2016 berkisar antara 28,0 hingga 43,1 ton CO2 per hektar dengan rata-rata 36,7 ton karbon per hektar (Satakhun et al, 2019).

Pada industri perkebunan kelapa sawit, terdapat standar yang disebut dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang ditetapkan sebagai standar tertinggi praktik tata kelola perkebunan berkelanjutan. Salah satu tujuan utama RSPO adalah High Conservation Value (HCV), yang mencakup semua lanskap yang memiliki nilai konservasi, termasuk keberadaan spesies langka atau endemik untuk dilindungi. Selain HCV, terdapat pula kawasan High Stock Carbon (HCS) yang diperuntukkan untuk melindungi kawasan hutan alam dan mengembangkan lahan yang terdegradasi. Pendekatan HCV dan HCS dalam perencanaan tata guna digunakan sebagai panduan dalam usaha melindungi alam.

Selain HCV dan HCS, teknologi yang digunakan dalam industri perkebunan juga dapat berkontribusi dalam menurunkan gas rumah kaca. Pada industri kelapa sawit, menurut Mathews dan Ardiyanto (2015), kontributor emisi terbesar adalah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) (diambil dari PASPI Monitor, 2023). Melalui berbagai inovasi teknologi, emisi gas rumah kaca dari proses produksi kelapa sawit dapat dikurangi melalui teknologi penangkapan metana, inovasi teknologi pemupukan, dan substitusi pupuk anorganik (PASPI Monitor, 2023).

Berdasarkan Keputusan BEI No. 296 tahun 2023, IDXCarbon telah menetapkan kategori untuk SPE-GRK, di mana proyek-proyek mitigasi di sektor kehutanan, pertanian, dan penggunaan lahan (termasuk HCV dan HCS) dapat didaftarkan sebagai offset karbon. Hal ini juga mencakup proyek-proyek berbasis teknologi, termasuk energi, pengelolaan limbah, dan lainnya. 

Upaya saat ini

Salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia, PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk. (SSMS), telah melakukan upaya melawan perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca untuk mencapai target NDC Indonesia.

Menurut Chief Sustainability Officer PT SSMS, Henky Satrio W, perkebunan kelapa sawit memiliki potensi yang cukup besar untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon melalui tiga skema, yaitu konservasi stok karbon, peningkatan stok karbon, dan pengurangan emisi dalam produksi. Perkebunan kelapa sawit yang dikelola secara berkelanjutan dan ramah lingkungan berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah besar yang dapat berkontribusi dalam pengurangan emisi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, SSMS telah memetakan dan menghitung potensi wilayah yang mampu menyerap karbon. Mereka juga berencana mendaftarkan daerah potensialnya ke Sistem Registrasi Nasional (SRN) sebelum mengikuti IDXCarbon. Selain itu, SSMS juga melakukan beberapa upaya untuk meminimalkan emisi karbon, seperti menangkap gas metana untuk bahan bakar operasional. Mereka juga mengelola pengelolaan dan pemanfaatan alam secara berkelanjutan, yang mencakup perlindungan kawasan HCV dan HCS dan pengelolaan kawasan konservasi orangutan di Pulau Salat.

Berdasarkan proyek tersebut, SSMS menyatakan mampu menurunkan emisi sebesar 345 ribu ton CO2 per tahun. Pada pertengahan tahun 2024, SSMS meyakini sudah dapat mengantongi Sertifikat Penurunan Emisi GRK (SPE-GRK) untuk memasuki perdagangan karbon di Indonesia. Praktek SSMS perlu ditiru oleh perusahaan perkebunan lain di Indonesia, terutama yang sudah tersertifikasi RSPO. Dengan melakukan hal ini, perusahaan dapat terus memperoleh keuntungan dengan menukarkan unit karbon yang dihasilkan oleh aset mereka sekaligus tetap melestarikan sumber daya alam.

Artikel merupakan saduran dari https://medium.com/@rifqi.aufari98/trees-are-the-new-oil-carbon-trading-its-opportunities-for-plantation-companies-in-indonesia-3e81b2fb5e24

Post Comment