Deindustrialisasi Prematur di Indonesia: Is it happening?
by: Muhammad Rifqi Aufari
Pada bulan April 2024, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian merilis Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik. Peraturan baru tersebut mengatur mengenai pembatasan impor peralatan elektronik, seperti AC, televisi, kulkas, mesin cuci, dan laptop. Langkah strategis tersebut bertujuan untuk mendukung pengembangan industri elektronik di tanah air agar bisa lebih berdaya saing dan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi para produsen yang telah berinvestasi di Indonesia.
Kebijakan ini tentu menuai pro dan kontra. Asosiasi Pabrik Kabel Indonesia (Apkabel) menyambut baik kebijakan Kementerian Perindustrian yang membatasi impor elektronik. Menurut Apkabel, kebijakan itu merupakan solusi terbaik sebagai wujud dukungan terhadap industri kabel dalam negeri, khususnya produsen kabel serat optik. Saat ini telah terpasang kapasitas produksi sebesar 15 juta ScKm (Kmfiber), namun baru terutilisasi dengan okupansi produksi di bawah 50 persen dari kapasitas terpasang.
Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE) berpandangan dengan adanya pembatasan impor beberapa produk elektronik akan membuat keran impor barang ilegal terbuka lebar. Produk elektronik menjadi salah satu yang banyak diburu masyarakat. Tanpa adanya pembatasan impor, APLE menjelaskan bahwa barang-barang impor yang diperjualbelikan dengan murah di platform e-commerce marak ditemukan, yang mayoritas merupakan produk ilegal. Tanpa adanya kebijakan tersebut pun, pemerintah belum sanggup mencegah peredaran barang-barang impor ilegal yang dijual di e-commerce. APLE meragukan kebijakan tersebut akan berjalan efektif.
Namun sebenarnya, bagaimana kondisi industri Indonesia saat ini?
Sektor yang terdegradasi
Sektor manufaktur dan kontribusinya terhadap perekonomian sebuah negara sudah sering diteliti dan dibahas, terutama pada kasus di negara-negara berkembang. Salah satunya yaitu oleh Dani Rodrik yang menulis “Premature Deindustrialization” yang terbit di Journal Econ Growth tahun 2015 dan Chong-Sup Kim dan Seungho Lee yang menulis “Different Paths of Deindustrialization: Latin American and Southeast Asian Countries from a Comparative Perspective” dan diterbitkan oleh Institute of International Affairs, Graduate School of International Studies, Seoul National University di tahun 2014.
Pada tulisannya, Rodrik (2015) menjelaskan bahwa industrialisasi merupakan proses yang menjadikan sebuah negara memiliki pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yang mana sektor industri memberikan nilai tambah paling tinggi terhadap perekonomian. Hal inilah yang mampu memunculkan negara-negara industri yang memiliki kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan negara non-industri, seperti negara-negara Barat dan beberapa negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan.
Saat ini, negara-negara industri mapan tersebut telah mengalami deindustrialisasi, yang mana tingkat kontribusi sektor manufaktur terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mengalami tren penurunan. Negara-negara tersebut telah memasuki fase pembangunan post-industrial, yang mana perekonomiannya lebih banyak bertumpu oleh sektor jasa dibandingkan sektor-sektor lainnya. Namun, terdapat fenomena menarik pada negara-negara berkembang, terutama yang belum mendapat cap sebagai negara industri. Negara-negara tersebut sudah mengalami proses penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB sebelum mencapai titik puncaknya. Rodrik menyebut ini sebagai “deindustrialisasi prematur”.
Proses deindustrialisasi prematur ini tentu berdampak serius terhadap negara-negara yang mengalaminya. Negara-negara tersebut kehilangan motor utamanya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan. Selain itu, negara juga kehilangan sektor industri yang mampu menyerap tenaga kerja secara massif, terutama tenaga kerja yang tidak terdidik dan terlatih. Hal ini dapat menjadikan negara-negara berkembang gagal untuk menjadi negara maju.
Selain Rodrik (2015), Kim dan Lee (2014) juga menjelaskan bahwa proses deindustrialisasi terjadi di negara- negara di Amerika Latin dan Asia Tenggara. Menurut Kim dan Lee, faktor dutch disease berpengaruh terhadap proses deindustrialisasi di dua kawasan tersebut. Dutch disease adalah kondisi di mana sebuah negara bergantung kepada sumber daya alam sebagai motor perekonomian, sehingga kontribusi sektor perekonomian lain, seperti manufaktur, mengalami penurunan.
Bagaimana kondisi Indonesia?
Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya yang dikemukakan oleh dua tulisan di atas, sayangnya Indonesia juga sedang mengalami hal yang sama. Menurut LPEM FEB UI, terdapat penurunan kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia, terutama di tahun 2019 hingga saat ini.
Sejak tahun 2014, rata-rata nilai tambah manufaktur adalah sekitar 39,12% hingga tahun 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada tahun-tahun sebelumnya. LPEM FEB UI menegaskan bahwa kondisi tersebut merupakan tanda-tanda deindustrialisasi dini. Kondisi ini memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kurang maksimal. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan Indonesia telah terpapar oleh penyakit yang merusak struktur perekonomian, yaitu dutch disease.
Jadi, apakah kebijakan pelarangan impor merupakan hal yang bijak dan apakah industri Indonesia mampu menangkap peluang ini?
Referensi:
Kim, Chong-Sup & Lee, Seungho. (2014). Different Paths of Deindustrialization: Latin American and Southeast Asian Countries from a Comparative Perspective. Journal of International and Area Studies, Vol. 21, No. 2 (December 2014), pp. 65- 81
Rodrik, Dani. (2016). Premature Deindustrialization. J Econ Growth (2016) 21:1–33
Post Comment