Kebijakan Kontroversial “Gunting Sjafruddin”
by: Muhammad Aditya N.
Krisis Ekonomi Pasca Kemerdekaan
Setelah melalui proses yang berliku untuk mendapatkan kedaulatan pasca kemerdekaan, pada akhirnya Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan kedaulatan dari dunia pada 27 Desember 1949, atau buah dari kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar yang dihelat di Den Haag, Belanda. Selama 1945 hingga 1949, Indonesia menghadapi agresi militer Belanda dan juga berbagai pemberontakan (hasil dari ketidakstabilan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi saat itu).
Berbagai peristiwa tersebut membawa Indonesia kepada kehancuran dalam bidang ekonomi. Hutang luar negeri maupun dalam negeri, defisit keuangan hingga 5,1 miliar rupiah, hingga inflasi menjadi polemik yang dihadapi oleh pemerintah kala itu untuk mengembalikan kestabilan ekonomi masyarakat dan negara. Hutang yang dimiliki oleh pemerintah kala itu senilai 1,5 triliun rupiah untuk hutang luar negeri dan 2,8 triliun rupiah untuk hutang dalam negeri.
‘Gunting Sjafruddin’
Menjabat sebagai Menteri Keuangan saat itu, Sjafruddin Prawiranegara menilai diperlukannya sebuah kebijakan yang dapat menurunkan inflasi dan mengembalikan stabilitas ekonomi maupun keuangan di Indonesia. Kebijakan sanering yang kemudian dikenal sebagai ‘Gunting Sjafruddin’ ini dicetuskan dengan harapan dapat mengurangi peredaran uang dan pada nantinya akan mengembalikan kestabilan harga-harga barang. Gunting Sjafruddin adalah kebijakan pemotongan nilai uang atau sanering yang ditujukan untuk meningkatkan perekonomian rakyat.
Kebijakan ini menuai pro dan kontra terkait keampuhan untuk mencapai tujuannya, yaitu mengembalikan kestabilan ekonomi dan keuangan di Indonesia. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, kebijakan ini tetap berjalan. Kebijakan ini mulai diterapkan pada 20 Maret 1950.
Saat itu, ada tiga jenis mata uang yang beredar di masyarakat, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang Gulden, peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang diedarkan oleh De Javasche Bank, dan juga uang yang beredar dari tentara NICA saat kedatangannya kembali pasca Perang Dunia II berakhir.
Dalam kebijakan sanering ini, uang Gulden dan Uang NICA (yang disebut juga sebagai ‘uang merah’) dengan pecahan 5 gulden ke atas akan digunting menjadi dua. Potongan kiri akan tetap berlaku sebagai pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nominal uang tersebut sebelum digunting, sementara potongan kanan dapat ditukarkan dengan obligasi yang akan dibayarkan dalam 30 tahun ke depan dengan bunga sebesar 3 persen per tahunnya.
Mata uang Gulden bagian kiri tadi hanya akan berlaku sebagai alat tukar hingga Agustus 1950. Selama masa peralihan tersebut, masyarakat dapat menukarkan potongan uang bagian kiri tersebut dengan mata uang baru.
Sertifikat Devisa
Sepekan sebelum kebijakan ‘Gunting Sjafruddin’ diterapkan (13 Maret 1950), Sjafruddin juga menginisiasikan kebijakan yang disebut sebagai Sertifikat Devisa sebagai bagian dari upaya untuk menekan krisis keuangan di masa itu. Tujuan kebijakan ini adalah untuk mendorong ekspor dan menekan jumlah impor.
Sistem pemberlakuan kebijakan ini yaitu pihak eksportir akan menerima uang sebesar jumlah nilai barang dengan tambahan Sertifikat Devisa senilai 50 persen dari nilai ekspor. Sementara itu, importir akan diwajibkan membeli Sertifikat Devisa senilai dengan nilai impor.
Sama seperti kebijakan lainnya, kebijakan Sertifikat Devisa juga mendapatkan pro dan kontra. Dari sisi pengusaha lokal, petani, dan peternak merasa kebijakan ini memperburuk mereka, karena di masa itu masih banyak peralatan atau kebutuhan pendukung yang masih harus diimpor dari luar negeri, seperti pupuk.
Dampak
Kedua kebijakan di atas mendapatkan tentangan keras dari beberapa kalangan, khususnya pihak yang berseberangan dengan Sjafruddin, tidak terkecuali dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Tekanan ini terjadi atas kebijakan yang dinilai kurang populis tersebut, karena di satu sisi memberatkan beberapa pihak.
Sebagian lainnya menilai sebaliknya. Sebagai negara yang masih berusia muda, kebijakan-kebijakan Sjafruddin dinilai mampu untuk mengurangi krisis keuangan yang terjadi saat itu. Dengan diterapkannya kebijakan sanering ‘Gunting Sjafruddin’, mata uang yang beredar di Indonesia yang semula ada tiga jenis, bisa diseragamkan. Selain itu, tentunya kebijakan ini dinilai mampu mengatasi inflasi dengan berkurangnya nominal mata uang yang beredar di masyarakat.
Demikian kiprah Sjafruddin, Menteri keuangan Indonesia (1949 – 1951) dengan salah satu kebijakan populernya yaitu ‘Gunting Sjafruddin’. Kebijakan ini dinilai lebih banyak membawa dampak positif dengan beberapa dampaknya, khususnya untuk mengatasi krisis keuangan berupa inflasi yang terjadi di tahun tersebut, dimana Indonesia baru saja berupaya untuk pulih pasca Revolusi Nasional atau revolusi fisik yang berlangsung sejak 1945 hingga 1949.
Referensi:
Post Comment